Ketika hujan deras mengguyur kota, begitu sendu dan pilu. Orang-orang berlarian melindungi diri dari hujan. mereka saling berebut tempat berteduh di stasiun. Aku mendengar tangisan bayi, rengekan anak kecil, runtukan dan keluhan tentang cuaca, lalu aku?? Aku hanya menghela nafas dan diam memandangi sekitar, tetapi mata ku terpaku pada satu titik. Aku memandangi jam klasik, entah sudah berapa lama disana. Aku mengamati setiap jam, menit bahkan detiknya! Tak terasa hujanpun berhenti. Entah aku menghabiskan berapa lama untuk mengamatinya.suasana telah berubah menjadi lenggang,hanya terdengar langkah kaki dan obrolan simpang siur samar-samar . Ah! Aku bahkan tak sadar bahwa situasi telah berubah. Aku menghirup harumnya tanah yang basah.
Sekali lagi, aku tak tersadar. Seorang kakek tua, tak terlihat satu helai rambutnya berwarna hitam duduk di sampingku. Saat aku menatapnya, Ia menatapku dan aku membalasnya dengan senyuman. Dari situlah obrolan kami dimulai. Obrolan tanpa kata, menceritakan tentang waktu dan kehidupan. Dari kerutan di wajahnya, memandakan berapa lamanya dia di dunia ini. Meski telah ia lalui, entah berapa dekade. Sorotan matanya begitu bijaksana. Menceritakan padaku tentang semua aneka rasa kehidupan ang terajut indah. Tubuhnya yang tak lagi kekar dan hanya berselimut kulit tipis yang penuh kerutan, mengajarkan aku, sekali lagi untuk mengerti tentang hidup dari setiap pengalaman terlalui. Dan membuatku tersadar banyak hal yang terlalui sia-sia. Saat hampir selesai obrolan dalam diam kami, beliau berdiri dan aku mengamati punggungnya yang tak lagi tegap namun masih kokoh, Beliau mengajarkan aku arti bekerja keras yang telah ia lalui. Ia bangkit perlahan dan berjalan menghampiri seorang gadis kecil berlarian kearahnya penuh senyuman di wajahnya dan memanggilnya “Kakek”, gadis kecil itu langsung memeluk Beliau, Suasana bahagia yang berlimpah ruah, suara tawa yang ku rindukan. Gadis kecil itu menatapku sekilas, masih dengan senyuman menawannya dan membawa pergi sang kakek. Beliau kembali tersenyum mengatakan sampai jumpa padaku. Dan aku membalaskan dengan senyuman. Si gadis kecil berceloteh dan Sang Kakek tersenyum bahkan sesekali tertawa, Mengamati mereka hingga tak sadar, mereka telah menghilang diujung sana. Melemparkan aku pada masa lalu, masa kecilku.
Kupejamkan mataku.....
Dimana aku masih bisa tertawa riang, dan berceloteh panjang lebar. Menceritakan apa yang telah terjadi. Hingga suatu saat masa kelamku datang, bahkan bukan saja kelam nya pekat seperti malam. Tetapi tertutup kabut gelap, tragedi menimpa kami. Masa suram yang terlewati beberapa belas tahun lalu, Saat kanker pita suara merebut suara indahku. Begitu aku sadar setelah tidur panjang, aku tak dapat bersuara. Bahkan tangiskupun tak terdengar. Orang-orang yang ku cintai. Ibu dan Ayahku yang begitu mengasihi dan menyayangiku, selalu memberiku semangat hidup. Saat api semangat itu mulai menyala, kembalilah kabut itu memadamkannya. Sebuah kecelakaan kecil membuat luka, sekali lagi aku menanggis dalam kesunyian. Aku... Aku adalah Sang gadis yang selalu memakai gaun hitam dan memegang boneka beruangku dan menangis dalam sunyi. Aku, Sang Gadis yang selalu tertutup kabut kelam yang lebih kelam dari malam, tumbuh dewasa tanpa keluhan. Kebali aku perperosok, Andai saja aku dapat memutar waktu kembali, saat-saat indah itu...
Ku buka mataku...
Ku dapati jam tua itu. Aku hanya bersyukur pada Sang Penciptaku, dan aku tanamkan dalam hatiku saat ini. Dari semua perih yang aku dapat, aku mendapat berkah yang luar biasa. Yaitu, Hidupku berharga, meski aku memiliki kekurangan. Aku bersyukur akan pertemuanku dengan seorang kakek yang baru saja aku temui. Tentang obrolan tanpa kata itu, membuatku semakin kuat untuk menjalani kehidupan yang akan kulalui.
Dengan senyuman, aku rasa ini adalah senyum terindah dan terlebar dalam hidupku saat ini. Aku bangkit dan melangkah pasti menyusul sodara-sodara senasibku untuk menyongsong hari-hari kami dengan penuh senyuman juga semangat. Tak lupa bersyukur dengan semua yang ada dan ke tak sempurnaan kami.
Aku takkan lupa pada kejadian itu tapi tak berharap kembali. Aku kembali berjuang dan menyongsong pagi baru dengan senandung kecilku yang tak seorangpun dapat mendengar. Hanya Dia yang dapat mendengarnya.